PANDANGAN ETIKA KRISTEN TERHADAP BUNUH DIRI

MAKALAH ETIKA KRISTEN
PANDANGAN ETIKA KRISTEN TERHADAP BUNUH DIRI


Di susun oleh :

Nama         :        WYNE GEBINA ADELIA Y
NIM           :        C220141013
Fakultas     :        Ekonomi / Akuntansi


Universitas Kristen Surakarta
Jl. Walter Monginsidi no 36 – 38, Surakarta
2015 / 2016



LATAR BELAKANG

Setiap orang pasti mempunyai masalah dalam kehidupannya mulai dari masalah  pribadi maupun masalah dengan orang lain di lingkungan sekitarnya. Namun, dalam urusan pemecahan masalahnya setiap orang mempunyai caranya masing-masing. Tetapi tidak semua orang mampu untuk memecahkan masalahnya dengan fikiran dan hati yang tenang. Terkadang apabila seseorang mengalami permasalahan yang sangat berat jalan  pintas dipakai untuk menyelesaikannya yaitu dengan cara bunuh diri tanpa memikirkan dampak apa yang mereka lakukan bagi dirinya sendiri serta orang lain. Maraknya kasus  bunuh diri belakangan ini menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan, apalagi  pelaku kasus bunuh diri rata-rata berasal dari kalangan remaja. Berbagai macam alasan digunakan untuk menghalalkan kasus bunuh diri ini. Mulai dari kasus ekonomi, masalah dalam keluarga dan teman, sampai masalah hubungan percintaan.Dalam perkembangan psikologi, remaja dikenal sedang dalam fase pencarian jati diri yang penuh kesukaran dan persoalan. Sejalan dengan perkembangan sosialnya, mereka lebih konformitas pada kelompoknya dan mulai melepaskan diri dari ikatan dan ketergantungan kepada orangtuanya dan sering menunjukkan sikap menantang otoritas orangtuanya. &esukaran dan persoalan yang terjadi pada fase remaja ini bukan hanya muncul pada diri remaja itu sendiri melainkan juga pada orang tua, guru, dan masyarakat. Sebagaimana yang sering kita lihat pertentangan antara remaja dengan orang tua, remaja dengan guru, dan remaja dengan kalangannya sendiri. Semua ini terjadi karena remaja masih berada di dua  persimpangan tadi. Dapat dipastikan bahwa seseorang yang sedang dalam keadaan transisi atau peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain'baru seringkali mengalami gejolak dan goncangan yang terkadang dapat berakibat buruk bahkan fatal seperti berfikiran untuk mengakhiri hidupnya.


PENDAHULUAN

Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang yang memikirkan atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi derajat keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit atau bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang non-spesifik (“Hidup ini tidak berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya mati”), pikiran dengan intensi (“Saya akan membunuh diri saya”), sampai pikiran yang berisi rencana (“Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”).
Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi (Maris dkk., 2000). Pada akhir-akhir ini fenomena mengambil jalan pintas bunuh diri menjadi sebuah alternatif yang banyak dipilih tak hanya kalangan orang dewasa, tetapi juga oleh remaja. Padahal suatu masalah itu ada jalan keluarnya tanpa harus dengan cara singkat seperti itu, namun lain halnya dengan bunuh diri karena, untuk membela Negara (Tanah Air). Laporan WHO di tahun 2010 menyebutkan, angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa. Pemerintahan Indonesia diminta melakukan investasi pada sektor SDM dan finansial untuk melakukan upaya pencegahan aksi bunuh diri. Badan itu juga memperkirakan pada tahum 2020 angka bunuh diri secara global menjadi 2,4 per 100.000 jiwa dibandingkan 1,8 per 100.000 jiwa pada 1998.
 Di Indonesia, masalah perekonomian memang masih menjadi faktor utama penyebab aksi bunuh diri. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup menyebabkan stres berkelanjutan yang akhirnya memicu depresi berat dan mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya. Selain masalah ekonomi, kebiasaan orang tua di Indonesia untuk memanjakan anak-anak menyebabkan mereka tumbuh dengan mental yang tidak kuat karena terbiasa dengan segala permintaan yang selalu dituruti dan disediakan. Akhirnya begitu mereka mendapatkan suatu tekan, mereka tidak kuat dan menggakiri hidupnya dengan bunuh diri

PENGERTIAN DAN FAKTOR PENYEBAB BUNUH DIRI

Definisi :
Kata bunuh diri di dalam bahasa Yunani berasal dari kata “apancho” yang berarti menahan (nafas sampai mati).  Menyebabkan kematian dirinya sendiri dengan menggantung diri (apanchomai), menggantung dirinya sendiri atau melakukan bunuh diri (Mat. 27:5).
Kata “suicide” (bunuh diri) pertama kali digunakan oleh Walter Charleton (1651) atau Sir Thomas Browne (1642). Selama berabad-abad, pengertian “bunuh diri” ini memiliki arti yang berbeda menurut zaman dan konteksnya.   Tetapi sejak sidang gereja pada tahun 452, pengertian bunuh diri dihubungkan dengan dosa dan kejahatan.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, bunuh diri adalah “sengaja mematikan diri sendiri.” Jadi, di dalam praktek bunuh diri yang berinisiatif dan yang mengambil tindakan adalah dirinya sendiri
Sedangkan menurut J.P. Moreland menegaskan bahwa bunuh diri adalah tindakan yang diambil dengan inisiatif sendiri untuk mengakhiri hidupnya baik melalui tindakan maupun tidak dan bukan karena terpaksa atau pun karena mengorbankan diri demi orang lain atau karena taat kepada Allah (martir).  Karena di dalam diskusi mengenai bunuh diri ini, ada dua macam bunuh diri yaitu pertama, bunuh diri yang dengan sukarela dilakukan sebagai tanda “pengorbanan diri”.  Bunuh diri semacam ini adalah dikarenakan tugas militer, mempertahankan diri, pengorbanan diri sebagai bukti iman dan karena tradisi atau kepercayaan.  Kedua, kebebasan untuk mengambil nyawa sendiri. Dan di dalam tulisan ini, pengertian kedua yang akan dibahas di mana bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghentikan kehidupannya sendiri demi menghindari penderitaan atau kesusahan jika kehidupan dilanjutkan.”
Faktor Penyebab Bunuh Diri              

Orang yang melakukan bunuh diri biasanya disebabkan oleh: pertama, sakit yang telah berlangsung sangat lama, tidak ada harapan sembuh dan telah banyak menghabiskan biaya hidup keluarga; kedua, stress atau tekanan karena ditinggal oleh orang yang dikasihi karena kematian; ketiga, penyakit kejiwaan seperti depresi, skizofrenia, trauma, dsb; keempat, cacat fisik seperti lumpuh, buta; kelima,penyalahgunaan narkotika; keenam, lingkungan yang tidak menyenangkan seperti penganiayaan seks/abuse, kemiskinan, tidak memiliki tempat tinggal, diskriminasi, ketakutan akan pembunuhan atau penyiksaan; ketujuh,mengalami masalah dalam bidang keuangan seperti bangkrut, pengangguran, kehilangan harta karena kebakaran, kalah di dalam pasar saham/valas, perjudian, hutang yang tidak terbayarkan; kedelapan, mengalami masalah dalam keluarga seperti perceraian, keluarga yang tidak harmonis, perlakuan yang tidak adil, tidak mendapatkan perhatian dari orang tua; kesembilan, untuk menghindari rasa malu (misalnya bushido, yaitu jika seorang samurai Jepang gagal di dalam mempertahankan kehormatannya, maka dia mengambil jalan keluar dengan melakukan seppuku/bunuh diri)

Bunuh Diri di dalam Alkitab

Di dalam Alkitab ada enam orang yang melakukan bunuh diri yaitu : Samson (Hak. 16:23-31), Raja Saul dan pembawa pedangnya (1Sam. 31:3-5), Ahitofel – penasihat Raja Daud – yang telah menghianati Raja Daud dengan mengikuti Absalom (2Samuel 17:23), Raja Israel Zimri (1Raj. 16:18-19), dan Yudas Iskariot yang menghianati Tuhan Yesus dan kemudian menggantung diti (Matius 27:3-5).  Di dalam Alkitab tidak ada pernyataan baik atau buruk tentang tindakan-tindakan tersebut.  Khusus berkenaan dengan Raja Saul dikatakan bahwa Tuhan yang telah membunuh dia karena tidak berpegang pada Firman Tuhan dan telah meminta petunjuk kepada arwah dan bukan minta petunjuk kepada Tuhan (1Taw. 10:4, 14).
Walaupun demikian, di dalam Alkitab kasus tentang bunuh diri tidak dinyatakan secara tegas dan jelas.  Tidak ada juga nasehat atau pernyataan sikap terhadap orang yang melakukan bunuh diri.  Secara tegas hanya yang berkaitan dengan pembunuhan seperti Hukum Keenam dari Sepuluh Hukum yaitu :”Jangan Membunuh” (Kel. 20:13).  Di dalam Matius 22: 39, orang Kristen tidak hanya diperintahkan untuk mengasihi orang lain tetapi juga dirinya sendiri.  Oleh karena itu, bunuh diri adalah tindakan yang tidak mengasihi dirinya sendiri tetapi justru membenci dirinya sendiri.  Jadi tindakan tersebut menunjukkan ketidaktaatan terhadap Firman Tuhan.

PRO DAN KONTRA TERHADAP BUNUH DIRI

v Pro Bunuh Diri
Di  dalam agama-agama orang-orang Eskimo dan suku-suku di Afrika terdapat anjuran untuk melakukan bunuh diri ketika seseorang mengalami kondisi dan situasi yang sulit seperti masalah ekonomi, atau karena mendapatkan malu.  Di dalam agama Sinto di Jepang, jika seseorang melakukan kesalahan dan kehilangan kehormatan, maka ia dianjurkan untuk melakukan upacara “hara-kiri” atau bunuh diri untuk memulihkan kehormatannya.  Di dalam tradisi agama Hindu, seorang janda yang menceburkan diri ke dalam api yang membakar jenasah suaminya yang telah meninggal dipuji karena dipandang sebagai pengorbanan yang mulia.
Menurut David Hume, tindakan bunuh diri tidak melanggar akan kedaulatan Allah atau kepemilikan Allah di dalam  hidupnya.  Bagi Hume, Allah tidak mencampuri semua urusan manusia termasuk di dalam penderitaan manusia.  Oleh karena itu, bunuh diri bukanlah bangkit dari kesombongan manusia tetapi karena ingin mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan penderitaan.  Baginya yang paling penting melalui bunuh diri dapat memberikan kebebasan dari rasa ketidakbahagiaan jika hidup tetap diteruskan.
Pandangan dari kalangan etika liberal menyatakan bahwa tindakan bunuh diri secara moral dapat dibenarkan asalkan tindakan tersebut tidak membawa akibat yang buruk bagi orang lain dan tetap di dalam kemerdekaan secara individu.  Bunuh diri juga dibenarkan karena dapat memberikan pembebasan dari kesusahan baik bagi si pelaku bunuh diri maupun bagi orang lain jika tidak jadi bunuh diri. 

v Kontra  Bunuh Diri
Di dalam agama-agama suku primitif ada pandangan bahwa roh orang yang melakukan bunuh diri menjadi roh yang jahat yang selalu gelisah dan tidak mendapatkan ketenteraman serta mengganggu orang-orang yang masih hidup.
Plato di dalam Phaedo menunjukkan bahwa tindakan bunuh diri harus dikutuk atau disalahkan dengan keras sebagai kejahatan yang mengerikan terhadap dirinya sendiri.  Seseorang yang ingin melakukan tindakan bunuh diri adalah mempersiapkan pemakaman yang tercela yang dianggap sama dengan melakukan pembunuhan terhadap anggota keluarganya sendiri.  Bagi Plato, tindakan bunuh diri merupakan tindakan perlawanan terhadap aturan negara dan dewa-dewa. Plato menyatakan bahwa kita ini bukan milik kita sendiri tetapi milik para dewa. Sikap Plato terhadap tindakan bunuh diri juga didukung oleh muridnya yaitu Aristoteles yang menyatakan bahwa tindakan bunuh diri adalah tindakan yang melawan huk um dan nilai-nilai moral.
Aquinas mendasarkan pada tiga alasan untuk menentang tindakan bunuh diri yaitu pertama, tindakan tersebut tidak natural karena berlawanan dengan kecenderungan alam di mana semuanya berkeinginan untuk mempertahankan hidup dan berlawanan dengan kemurahan hati (belas kasihan) karena semua orang harus mengasihi dirinya sendiri; kedua, tindakan bunuh diri merupakan serangan melawan dan sebuah luka bagi sebuah komunitas karena seseorang milik dari sebuah komunitas dan ketiga, sebuah tindakan perampasan terhadap kuasa Allah yang memiliki hak untuk memberikan dan mengambil kembali kehidupan.
Dalam banyak agama, bunuh diri juga dipandang sebagai suatu perbuatan yang tercela dan berdosa kepada Allah-nya. Di dalam tradisi agama Katolik, kehidupan merupakan pemberian dari Sang Pencipta dan oleh karena itu kita harus menggunakannya sebagai pelayanan dan bukan sebagai dominasi. Artinya tindakan bunuh diri dianggap sebagai dosa melawan kedaulatan Allah.
Sedangkan di dalam tradisi agama Yahudi (Yudaisme), tindakan bunuh diri dilarang karena pertama, melawan akan kedaulatan Allah atau kepemilikan Allah dalam hidup kita.  Seorang manusia adalah milik Allah dan tidak memiliki hak untuk menghancurkan kehidupannya melalui bunuh diri.  Kedua,karena manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah (Kej. 1:26-28). Walaupun demikian, di dalam tradisi Yahudi, tindakan bunuh diri dapat dibenarkan jika tindakan tersebut sebagai martir atau tanda pengorbanan diri demi Allah dan bangsanya.

Contoh kasus bunuh diri

Pada hari Senin, 12 Maret 2007 sebuah surat kabar harian memuat headline di halaman utamanya dengan judul “Ibu Ajak Empat Anaknya Bunuh Diri.” Isi beritanya adalah sebagai berikut:
Diduga karena tidak kuat menghadapi tekanan ekonomi, satu anggota keluarga yang tinggal di Jalan Taman Sakura 12, RT 1/10, Kel Lowokwaru, Kec Lowokwaru, Kota Malang, melakukan bunuh diri. Bunuh diri dilakukan oleh seorang ibu beserta empat anaknya.
Kelima korban adalah Ny Junania Mercy, 37; Athena Latonia, 11; Prinsessa Ladova, 9; Hendrison, 7; dan Gabriela Alcein,2.  Diduga kelima korban meninggal dengan cara meminum potasium dan sejenis kapsul. Namun sampai kemarin, polisi belum mengetahui jenis kapsul tersebut. Untuk sementara ini, polisi menyimpulkan Junanialah yang meminumkan potasium kepada empat anaknya tersebut.
Sesudah keempat anaknya meninggal, Junania meminum racun tersebut.  Kesimpulan ini diperoleh saat melihat posisi kelima korban.  Saat ditemukan pertama kali, posisi keempat anak Junania terbaring rapi di atas tempat tidur. Sedangkan Junania tertelungkup di bawah ranjang. Dari situ, polisi menyimpulkan, setelah anak-anaknya meninggal, Junania membaringkan keempat anaknya di atas ranjang. Menurut keterangan Ketua RT Hantoko, kematian istri beserta anak dari Hendri Suwarno, 35, tersebut, baru diketahui pada sekitar pukul 11.30 WIB. Hantoko mengaku mendapatkan laporan dari Cesar, teman Rudy Suwarno, adik korban yang biasa tinggal di rumah tersebut. Hantoko menuturkan, sekitar pukul 11.30 WIB, Cesar datang ke rumahnya, setelah mendapati lima orang keluarga temannya meninggal dunia di satu kamar.  Cesar sendiri datang ke rumah tersebut bersama Rudy setelah semalaman menginap di Kota Batu.
”Begitu berada di dalam rumah, mereka sudah menemui ke lima korban tersebut dalam kondisi tidak bernyawa,” tuturnya. Sementara itu, Kapolresta Malang AKBP Erwin Chahara Rusmana menyatakan, kemungkinan besar mereka meninggal karena bunuh diri. ”Berdasarkan identifikasi di TKP, 90% mengarah pada bunuh diri. Hal itu dapat dilihat dari ditemukannya sejenis kapsul dan potasium di sekitar mayat korban,”ujar Erwin. Polisi memperkirakan kematian korban ini terjadi pada malam hari. Erwin menyimpulkan untuk sementara ini, motif utama aksi nekat tersebut dikarenakan tekanan ekonomi. Erwin menuturkan, anak Junania yang bernama Hendrison mengalami gagal ginjal sehingga harus sering melakukan cuci darah.
Tanggapan mengenai berita di atas adalah salah satu berita tentang bunuh diri yang menggemparkan bukan hanya kota Malang tetapi juga seluruh Indonesia.  Tidak habis-habisnya masyarakat Indonesia membicarakan akan hal ini.  Ada yang ikut prihatin akan kenyataan yang dihadapi oleh keluarga tersebut dan ada pula yang mengecam tindakan sang ibu tersebut.
Walaupun demikian, jika kita cermati bersama, saat ini tindakan bunuh diri menjadi “trend” dan salah satu jalan keluar paling ‘favorit’ bagi orang-orang yang mengalami depresi, putus asa, jalan buntu dan ‘tidak tahu harus berbuat apa-apa’ lagi.  Dengan berbagai cara seperti gantung diri, terjun dari gedung bertingkat, minum racun, menusuk atau menggores tubuh/anggota tubuh dengan senjata tajam, bakar diri,  terjun ke sungai/laut, menjatuhkan diri ke rel kereta api/jalan raya kerap dilakukan bagi mereka yang melakukan bunuh diri.

TINJAUAN ETIKA TERHADAP BUNUH DIRI
Tinjauan Menurut Sistem Etika
Menurut Norman L. Geisler, sistem-sistem etika pada umumnya dapat dibagi ke dalam dua kategori yaitu teleologikal (berpusat pada tujuan) dan deontologikal (berpusat pada kewajiban).
1.  Etika  Teleologikal
Menurut teori ini – sesuai dengan arti kata “telos” yang berarti tujuan, hasil– apa yang  secara moral baik atau buruk, benar atau salah, wajib atau dilarang ditentukan oleh hasil dari tindakan yang dilaksanakan. Jika perbuatan menghasilkan hal yang baik secara moral, maka tindakan tersebut dapat dibenarkan secara moral. Dalam hal ini, hasil menentukan tindakan mana  yang baik dan yang tidak baik. Menurut Bentham, manusia menurut kodratnya selalu ingin menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenangan.  Seorang akan bahagia jika  memiliki kesenangan dan terlepas dari kesusahan.  Oleh karena itu, menurut Bentham, suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk dapat diukur dengan sejauh mana dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang.  Baginya, moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia.  Akhirnya Betham menarik satu prinsip kegunaan (the principle of utility) yang berbunyi: the greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar
Menurut pandangan etika utilitarianisme, seseorang yang melakukan bunuh diri harus mempertimbangkan kesejahteraan dari orang-orang lain yang terkait dengannya, tidak hanya memikirkan dirinya sendiri.  Jika tindakan bunuh diri tersebut dapat memaksimalkan kegunaan (utility), maka tindakan tersebut secara moral dapat dibenarkan dan masuk akal.  Pertimbangan-pertimbangan yang dianggap cukup baik untuk melakukan bunuh diri adalah : kondisi dan situasi yang menyakitkan, penyakit yang tidak dapat disembuhkan (terminal), kehilangan kehormatan, jatuh miskin; menjadi cacat atau kehilangan kecantikan fisik, hilangnya kemampuan seksual, kehilangan harapan masa depan, kehilangan orang tercinta, kecewa dalam cinta, dan kelemahan atau penyakit karena usia terus meningkat. Pada intinya adalah orang yang melakukan bunuh diri dapat dibenarkan atau diterima secara moral jika dia melakukan demi tujuan yang baik seperti menghilangkan atau mengurangi penderitaan atau kesusahan dirinya sendiri maupun orang lain yang terkait dengan dirinya.  Yang penting tujuan tercapai, bunuh diri tidak menjadi masalah.
Pandangan etika teleologikal tampaknya memberikan jalan keluar bagi mereka yang mengalami penderitaan dan kesusahan.  Dengan mengakhiri hidup mereka sendiri, tampaknya juga masalah telah selesai.  Selain itu, tindakan bunuh diri untuk menghindari kesusahan orang lain kemudian – misalnya akibat biaya rumah sakit yang besar – tampaknya memberikan jalan keluar yang heroik.
Hanya saja kalau kita pikirkan kembali, pandangan utilitarianisme tidaklah memberikan jalan keluar yang terbaik.  Justru orang-orang yang mengambil keputusan untuk bunuh diri dengan alasan untuk mengurangi penderitaan dan kesusahan atau pun demi kesejahteraan orang lain adalah tindakan yang pengecut dan tidak ksatria. Tentu saja mereka tidak dibenarkan dan tindakan mereka secara moral salah karena telah melakukan kejahatan.
2.  Etika Deontologikal
Kata “deontological” memiliki akar kata “deon’’ yang berarti sesuatu yang harus dilakukan sebagai hasil sebuah paksaan, tugas atau kewajiban. Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman pendukung pandangan etika ini, menyatakan bahwa suatu tindakan dianggap baik adabila didasarkan pada kehendak yang baik.  Seseorang  dapat memiliki kehendak baik jika melakukan sesuatu karena kewajiban.  Jadi Kant berpendapat bahwa perbuatan adalah baik jika hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Selain itu, Kant juga berpendapat bahwa ada dua ukuran obyektif untuk menyatakan bahwa suatu tindakan itu benar atau salah secara etis.  Pertama, “bertindaklah atas dalil, bahwa apa yang kita lakukan dapat berlaku  sebagai hukum yang bersifat universal,” yaitu apabila yang kita lakukan di manapun dan kapan pun adalah yang seharusnya dilakukan oleh siapa pun.  Kedua, apa yang benar adalah apabila kita memperlakukan manusia di dalam setiap sebagai tujuan, dan bukan sekedar alat atau cara untuk mencapai tujuan.
Salah satu penerapan pandangan etika deontologikal ini adalah absolutisme total. Tindakan bunuh diri jika ditinjau dari sudut etika ini adalah tindakan yang salah.  Mengapa?  Karena tindakan bunuh diri sudah melanggar akan hukum atau norma yang diberikan Allah kepada manusia yaitu “Jangan Membunuh”.  Seseorang yang melakukan bunuh diri jelas telah melanggar hukum tersebut karena ia telah sengaja membunuh yaitu dirinya sendiri.  Jadi larangan yang seharusnya wajib atau harus dilakukan, dia langgar dan justru melakukan hal yang bertentangan.

Bunuh Diri Menurut Pandangan Etika Kristen

Bunuh diri itu dosa, dikarenakan ia telah menolak keselamatan yang telah Tuhan Yesus berikan kepada ummatnya. Yudas Iskariot bunuh diri karena ia telah menyesal terhadap perbuatannya dan tidak bertobat. Ini jelas dosa. Bunuh diri itu sama dengan membunuh orang lain. Bunuh diri tidak terampunkan bukan karena bunuh dirinya, tetapi karena penolakan keselamatan. Tetapi ada juga yang menganggap bunuh diri dapat diampuni, dengan cara didoakan kepada Tuhan.
1 Yohanes 1:7 Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa
Orang bunuh diri tidak hidup didalam terang, dia hidup dalam gelap dan kejahanaman. Ia telah merasa putus asa dan tidak percaya kepada Tuhan yang telah menyelamatkan kita.
Namun tidak hanya Bunuh diri saja yang tidak diampuni, namun juga penolakan (berkali-kali) terhadap Roh Allah.

Tinjauan Menurut Firman Tuhan / Alkitab

1.      Hidup ini adalah milik Tuhan yang dianugerahkan-Nya kepada manusia.
Tindakan bunuh diri tidak dapat dibenarkan karena hidup seseorang adalah pemberian dari Tuhan.   Ketika Tuhan Allah menciptakan manusia dari debu dan tanah pada saat itu Dia “menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya” sehingga manusia tersebut menjadi manusia yang hidup (Kej. 2:7).  Nehemia pun mengakui bahwa Tuhan adalah Pencipta dan pemberi hidup segala yang diciptakan-Nya termasuk manusia (Neh. 9:6).  Pengkhotbah 12:7 menyatakan bahwa “debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.” Ayub menyatakan bahwa di dalam tangan Tuhan terletak segala yang hidup (Ayub 12:10) dan nafas dari Tuhan yang membuatnya hidup (Ayub 33:4).  Dalam Yohanes 14:6 pun Tuhan Yesus menyatakan bahwa diri-Nya adalah “jalan dan kebenaran dan hidup.”  Hal ini dinyatakan setelah Tuhan Yesus membangkitkan kembali Lazarus yang telah meninggal dunia (Yoh. 11:1-44).  Jelas, bahwa hidup kita adalah pemberian dari Allah dan Allah sendiri yang berhak untuk memberi dan mengambilnya kembali.
Oleh karena hidup ini adalah milik Tuhan yang Dia berikan kepada manusia, maka manusia tidak boleh menolaknya yaitu dengan bunuh diri.  Hidup kita – mati atau hidup – adalah di tangan-Nya.  Tugas kita adalah bertanggung jawab atas kehidupan yang telah ia percayakan kepada kita. Dan Tuhan melarang kita menolak hidup kita sendiri, artinya membunuh diri, sebab hidup dan mati bukan terletak dalam tangan kita, melainkan dalam Tangan Tuhan.  Tetapi pada manusia itu Tuhan telah meletakkan tanggungdjawab atas hidupnja sendiri.  Manusia mempunjai kebebasan mengenai hidupnja sendiri, tetapi kebebasan itu disertai suatu tanggungdjawab. Ia bertanggung jawab kepada Tuhan atas segala apa jang diperbuatnja terhadap hidupnya.  Manusia dapat menerima karunia jang disebut hidup itu, tetapi ia pun dapat menolaknya, hal mana merupakan suatu perbuatan yang amat mengerikan, sebab menolak hidup berarti membunuh diri.

2.      Bunuh diri melanggar Hukum keenam “Jangan Membunuh
Tindakan bunuh diri adalah tindakan yang tidak berkenan di hadapan Tuhan karena bunuh diri sendiri telah melanggar perintah Tuhan di dalam Sepuluh Hukum yaitu Hukum Keenam yang berbunyi “Jangan Membunuh” (Kel. 20:13; Ul. 5: 17).  Geisler sendiri menegaskan hal ini “Karena bunuh diri juga merupakan suatu bentuk pembunuhan, maka juga termasuk pelanggaran.” Robertson McQulkin juga menyatakan bahwa bunuh diri salah atau dosa karena itu adalah pelanggaran akan larangan mengambil nyawa manusia. Di dalam Katekismus Singkat Westminster berkenaan dengan perintah keenam menyatakan: Apakah yang dituntut dalam perintah keenam?  Perintah keenam menuntut kita untuk melakukan segala usaha yang dibenarkan untuk memelihara kehidupan kita dan kehidupan orang lain. Apa yang dilarang dalam perintah keenam?  Perintah keenam melarang kita mengambil nyawa kita sendiri (Kis. 16:28) atau pun sesama kita secara tidak adil, atau melakukan perbuatan apa pun yang mempunyai kecenderungan demikian. Mengapa manusia tidak boleh membunuh dan dibunuh?  Karena sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah segambar dan serupa dengan-Nya, maka kita adalah ciptaan yang sangat berharga di mata-Nya.  Manusia yang diciptakan Allah menurut gambar dan rupa-Nya juga menyatakan bahwa manusia adalah wakil Allah di mana terpancar akan karakter dan sifat Allah di dalamnya.  Oleh karena itu, ketika seseorang membunuh ‘gambar Allah’, maka dia melakukan kekerasan terhadap Tuhan sendiri. Kejadian 9:6 menyatakan “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.”. Oleh karena itu, kita tidak boleh membunuh diri kita sendiri karena kita adalah ciptaan Allah yang agung dan mulia.

3.      Bunuh diri melanggar akan kedaulatan Tuhan
Di dalam Ulangan 32:39 Tuhan Allah menyatakan: ”Lihatlah sekarang, bahwa Aku, Akulah Dia.  Tidak ada Allah kecuali Aku.  Akulah yang mematikan dan yang menghidupkan…”.   Hana di dalam doanya mengakui bahwa “TUHAN mematikan dan menghidupkan” (I Sam. 2:6).  Pengkotbah 8:8 menyatakan: ”Tiada seorangpun berkuasa menahan angin dan tiada seorangpun berkuasa atas hari kematian. Tak ada istirahat dalam peperangan, dan kefasikan tidak melepaskan orang yang melakukannya.” Jelas bahwa Allah-lah yang berdaulat atas kehidupan manusia. Allah yang menciptakan hidup manusia dan Allah sendirilah yang memiliki hak untuk mengambil nyawa manusia. Menurut Walter C. Kaiser, Allah sendiri adalah pemberi dan pemelihara kehidupan, oleh karena itu hanya Allah saja yang berhak mengambilnya kembali. Menurut James F. Childress and John Macquarrie, dosa melawan Allah sebagai Pencipta dan Penebus, juga merupakan penolakan akan kasih dan kedaulatan-Nya. Dengan demikian, Firman Tuhan juga menolak akan pandangan bahwa manusia memiliki hak secara individu untuk menentukan nasib hidupnya sendiri termasuk di dalamnya adalah hak untuk mati (the right to die).  Hidup manusia bukanlah milik manusia sendiri (otonom) tetapi jelas sekali bahwa hidup manusia adalah milik Allah dan Allah sendiri yang memiliki hak untuk ‘mencabut’nya.  Selain itu, walaupun manusia memiliki kebebasan, Tuhan juga memberikan kepada manusia tanggung jawab yaitu bagaimana menggunakan kehidupan yang diberikan oleh-Nya dengan baik dan penuh tanggung jawab.

4.      Bunuh diri melanggar hukum kasih.
Di dalam Matius 22:39 Tuhan Yesus memberikan hukum kasih yang berbunyi “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”  Paulus pun menyatakan bahwa seorang suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri sebab tidak pernah seorang yang membenci tubuhnya sendiri, tetapi jusru mengasuhnya dan merawatinya (Ef. 5:28-29).  Hal ini menegaskan bahwa jika kita mengasihi diri kita sendiri, mengapa kita tega ‘menyakiti’ tubuh kita dengan membunuhnya?  Tentu ini menegaskan bahwa orang yang melakukan tindakan bunuh diri tidak mengasihi atau menyayangi akan tubuhnya.
Menurut Josh McDowell dan Norman Geisler menyatakan bahwa mengambil nyawa itu salah, bahkan nyawa diri sendiri.  Bunuh diri adalah tindakan kebencian terhadap  diri sendiri, tepat sebagaimana pembunuhan adalah tindakan kebencian terhadap orang lain.  Bunuh diri sama salahnya dengan pembunuhan, sebab melanggar perintah mengasihi diri sendiri, tepat sebagaimana pembunuhan melanggar perintah mengasihi orang lain.  Kasih bertentangan dengan kedua tindakan ini.  Bunuh diri adalah tindakan mementingkan diri sendiri mengakhiri kesulitan kita tanpa memperdulikan tindakan membantu orang lain berurusan dengan kesulitan mereka. Seseorang yang berfokus pada tindakan melindungi dan mencukupi kebutuhan orang lain tidak mempunyai alasan untuk membenci kehidupannya sendiri. Mengasihi adalah obat penawar bagi godaan menghancurkan diri sendiri. Jadi, tindakan bunuh diri bertentangan dengan hukum kasih yang telah diajarkan oleh Yesus kepada kita.

5.      Bunuh diri melanggar kewajiban di dalam masyarakat.
Menurut Hauerwas seseorang tidak boleh memiliki keinginan untuk bunuh diri karena kewajibannya terhadap orang lain di dalam masyarakat.  Seseorang tidak boleh berpikir bahwa dia seorang pribadi yang terpisah dari masyarakat.  Keberadaan seseorang tergantung pada interaksi dengan sesama di dalam masyarakat.  Kesediaan mereka untuk hidup dalam menghadapi kesakitan, kebosanan dan penderitaan adalah : pertama,  sebuah pelayanan moral untuk satu dengan lainnya; kedua, tanda bahwa kehidupan dapat dipikul; ketiga,sebuah kesempatan untuk mengajarkan kepada yang lainnya bagaimana untuk mati, bagaimana untuk menghadapi kehidupan, bagaimana hidup baik dan bagaimana seorang bijak memahami hubungan antara kebahagiaan dan kejahatan.  Sebuah tindakan bunuh diri menunjukkan kegagalan sebuah komunitas untuk mempedulikan orang yang bunuh diri ketika orang tersebut membutuhkan pertolongan dan itu menjadi tanda ketiadapedulian terhadap komunitas.

6.      Bunuh diri melanggar iman kita kepada-Nya
Karena umumnya bunuh diri dihubungkan dengan penderitaan dan kesusahan, maka dalam ini orang yang melakukan bunuh diri tidak mempercayai hidupnya pada Tuhan.  Mereka sering kali merasa bahwa sudah tidak ada lagi harapan di dalam dunia ini bagi masa depan mereka.  Di sisi lain, Allah bagi mereka sudah ‘tidak ada lagi’ karena mereka tidak mendapatkan pertolongan dari Tuhan.  Oleh karena itu, di dalam kedepresian mereka, mereka mengambil keputusan untuk melakukan bunuh diri.  Hanya saja, tampak bahwa mereka yang melakukan tindakan bunuh diri tidak sepenuhnya menyerahkan hidup mereka kepada pemeliharaan Tuhan yang hidup dan mahakuasa.  Menurut Bonhoeffer, tindakan bunuh diri adalah tindakan yang berdosa di hadapan Tuhan karena menunjukkan hidup yang kurang beriman. R.C. Sproul juga menekankan bahwa “Allah tidak membenarkan kita untuk bunuh diri.  Bunuh diri, dalam ungkapannya yang penuh, melibatkan seorang yang menyerah pada keputusasaan.  Apapun kerumitan bunuh diri yang terlibat dalam penghakiman Allah, kita tahu bahwa bunuh diri tidak diberikan pada kita sebagai pilihan untuk kematian.


KESIMPULAN DAN SIKAP KITA

Kesimpulan
Dari apa yang telah diuraikan di atas, penulis mengambil kesimpulan: pertama, tindakan bunuh diri pada umumnya didorong oleh rasa frustasi dan depresi yang membuat seseorang merasa tidak memiliki jalan keluar untuk segala macam permasalahan mereka; kedua, tindakan bunuh diri termasuk tindakan ‘pemberontakan’ terhadap kedaulatan Tuhan; jadi bunuh diri adalah dosa; ketiga, tindakan bunuh diri secara etis tidak dapat dibenarkan walaupun dengan alasan menghindari dari penderitaan dan kesusahan dan keempat,tindakan bunuh diri secara etis tidak dapat dibenarkan karena telah melanggar salah satu dari Sepuluh perintah Tuhan yaitu hukum keenam : Jangan Membunuh.

Sikap Kita Terhadap Bunuh Diri
Sikap kita di dalam menghadapin mereka yang mengambil tindakan bunuh diri adalah yang pertama, terhadap mereka yang melakukan bunuh diri, kita jangan hanya melakukan pendekatan secara etika – benar atau salah – tetapi juga melakukan pendekatan secara empatik dan psikologis yaitu dengan melihat dan memahami apa yang menjadi pergumulan dan alasannya untuk melakukan bunuh diri; kedua, janganlah kita mengambil sikap ‘menghakimi’ mereka yang hendak dan telah mengambil tindakan bunuh diri, karena hak untuk menghakimi hanya pada Allah saja; ketiga, terhadap mereka yang hendak melakukan bunuh diri, kita harus menjaga dirinya dengan baik, memberikan perhatian dan kasih yang cukup serta berkomunikasi dengan mereka; keempat, ketika kita berada di dalam pergumulan yang berat, bersandar penuh pada Allah yang memelihara kehidupan kita.  Allah tahu apa yang terbaik bagi kita demi kebaikan kita sendiri (Roma 8:28).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOAL JAWAB AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

PENGEMBANGAN INDUSTRI DAN PENGUTAMAAN EKSPOR GUNA MENOPANG PEMULIHAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI